KEBIJAKAN TENTANG BBM YANG SEJAK LAMA SUDAH KACAU BALAU
Oleh Kwik Kian Gie
Hampir semua elit bangsa kita telah tersesat
pikirannya selama berpuluh-puluh tahun tentang segala sesuatu yang ada kaitannya
dengan kebijakan dalam menentukan harga BBM.
Mereka mengatakan bahwa kalau harga minyak
mentah di pasar internasional lebih tinggi dari harga minyak mentah yang
terkandung dalam bensin premium, pemerintah Indonesia memberi subsidi kepada rakyatnya.
“Subsidi” yang mereka artikan sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan
oleh pemerintah. Karena jumlahnya besar, uang tunai ini tidak dimiliki oleh
pemerintah, sehingga APBN jebol.
Dengan angka-angka dikatakan bahwa dalam hal :
·
Harga minyak Indonesia di pasar internasionl,
Indonesian Crude Price (ICP) USD 105 per barrel;
·
Lifting minyak Indonesia 930.000 barrel per
hari;
·
Konsumsi BBM rakyat Indonesia 63 juta
kiloliter per tahun;
·
dan beberapa asumsi lainnya,
pemerintah Indonesia harus mengeluarkan
subsidi dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 123,60 trilyun.
Uang tunai sebesar ini tidak dimiliki oleh
pemerintah, sehingga APBN jebol. Maka pemerintah harus menaikkan harga BBM.
Pemerintah, para ilmuwan, pengamat, pers dan
komponen elit bangsa lainnya meyakinkan rakyat Indonesia tentang pendapatnya
yang sama sekali tidak benar, dan bahkan menyesatkan itu.
Pemerintah yang dalam berbagai pernyataan dan penjelasannya
mengatakan harus mengeluarkan uang tunai untuk subsidi BBM, ternyata menulis
yang bertentangan di dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan Tahun 2012.
NOTA
KEUANGAN TAHUN 2012
Angka subsidi sebesar Rp. 123,60 trilyun
diperoleh dari empat angka yang terdapat dalam halaman-halaman dari Nota
Keuangan yang dirinci sebagai berikut:
Halaman
III-6 : Tabel III.3 – Penerimaan Perpajakan, 2011 dan 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Pajak
Penghasilan Migas” sebesar Rp. 60,9156 trilyun
Halaman
III-12 : Tabel III.7 – Perkembangan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Tahun 2001 – 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Penerimaan SDA
Migas” sebesar Rp. 159,4719 trilyun.
Halaman
IV-7 : Tabel IV.3 – Subsidi 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Subsidi BBM dan
LPG Tabung 3 Kg.” sebesar Rp. 123,5997 trilyun.
Halaman
IV-43 : Tabel IV.5 – Transfer ke Daerah, 2012
Dalam Tabel ini terdapat pos “Sumber Daya Alam
Migas” sebesar
Rp. 32,2762 trilyun. Ini adalah pemasukan uang
tunai Pemerintah Pusat yang diteruskan kepada Pemerintah Daerah atas dasar Bagi
Hasil dalam Otonomi Keuangan Daerah.
Keempat angka tersebut disusun dalam Tabel
I terlampir.
Tabel I : Tidak ada subsidi yang sama dengan pengeluaran uang tunai
Kita lihat bahwa walaupun sudah memasukkan
pos yang dinamakan “Subsidi” sebesar Rp. 123,5997 trilyun masih ada kelebihan
uang tunai sebesar Rp. 64,5116 trilyun.
Kelebihan uang dalam Kas Kementerian
Keuangan lebih besar dari ini, namun uang tunai sejumlah Rp. 32,2762 trilyun
diteruskan ke Pemerintah Daerah sebagai Dana Bagi Hasil dalam rangka otonomi
keuangan.
Jelas angka ini adalah pemasukan uang.
Maka kalau ditambahkan, kelebihan uang tunai menjadi Rp. 96,7878 trilyun.
Jadi kalau
dikatakan Pemerintah mengeluarkan uang tunai sejumlah Rp. 123,5997 trilyun guna
membayar “subsidi” BBM jelas tidak benar.
Tabel I SURPLUS
BBM TERCANTUM DALAM NOTA KEUANGAN 2012 TAHUN ANGGARAN 2012
·
Halaman-halaman yang relevan diambil untuk
disusun menjadi susunan angka-angka berikut. Sumbernya berupa Tabel nomor
berapa, tercantum di halaman nomor berapa.
·
Semua angka adalah Rupiah.
PENERIMAAN
(Tabel III.3 :
Penerimaan Perpajakan – Halaman III-6) PPh
Migas 60,9156 tr
(Tabel III.7 :
Perkembangan PNBP – Halaman III-6-12) PNBP
Migas 159,4719 tr
Total
Penerimaan 220,3875
tr
PENGELUARAN
(Tabel IV.3 :
Subsidi – Halaman IV.17) Subsidi
BBM 123,5997 tr
(Tabel IV.5 :
Transfer ke Daerah Halaman IV.43) DBH
Migas 32,2762 tr
Total
Pengeluaran 155,8759 tr
SURPLUS 64,5116
tr
(Tabel IV.5 :
Transfer ke Daerah Halaman IV.43) DBH
Migas* 32,2762 tr
TOTAL SURPLUS 96,7878
tr
=========
*DBH (migas)
bukan pengeluaran (belanja) negara yang riil; pemasukan uang dari Migas yang
merupakan hak daerah atas dasar UU Otonomi Keuangan Daerah. Kalau sekat antara
Pemerintah, Pertamina dan Daerah dihilangkan, bangsa Indonesia yang diwakili
oleh Menteri Keuangan mempunyai kelebihan uang, walaupun harga minyak di pasar
internasional USD 105/barrel, 1 USD = Rp. 9.000, Lifting 930.000 barrel/hari
dan asumsi-asumsi
lain yang disusun
oleh Pemerintah sendiri. Kalau tidak mau dikatakan “bohong” paling sedikit
harus mengaku tidak menguasai permasalahan.
FRAKSI-FRAKSI KOALISI DI DPR
TIDAK PAHAM TENTANG APA YANG MEREKA LAKUKAN
Kesepakatan
fraksi-fraksi koalisi di DPR tentang Pasal 7 ayat (6A) jelas berdasarkan kebingungan
dan ketidak pahaman tentang apa yang mereka diskusikan dan putuskan. Mengapa
memberikan hak kepada pemerintah dalam hal harga ICP mencapai 115% dari USD 105
per barrel ? Lagi-lagi karena keyakinan bahwa APBN akan jebol kalau harga
mencapai 115% x USD 105 per barrel.
Bahwa
keyakinan itu sama sekali keliru terlihat dari perhitungan di bawah, yang masih
menghasilkan surplus sebesar Rp. 74,1915 triyun dalam hal harga ICP menjadi USD
120.75
Tabel II : Kalau harga ICP = 115% dari USD 105/barrel masih terdapat
surplus/kelebihan uang tunai.
surplus/kelebihan uang tunai.
PERHITUNGAN DENGAN HARGA MINYAK USD 120,75 (+
15%)
·
Konsumsi 63,0000 milyar
liter terdiri dari :
·
Minyak Dalam
Negeri 37,7808 milyar liter
·
Impor 25,2192 milyar liter
·
Dengan harga USD
120,75 impor menjadi
USD 0,76/liter x Rp. 9.000 = Rp. 6.840/liter
USD 0,76/liter x Rp. 9.000 = Rp. 6.840/liter
Impor Minyak Mentah : 25,2192 milyar
liter @ Rp. 6.840/liter = Rp.
172,4993 trilyun
Tadinya (harga minyak USD 105/barrel)
: Rp.
149,9030 trilyun
Surplus berkurang dengan Rp.
22,5963 trilyun
Surplus sebelumnya Rp.
96,7878 trilyun
Surplus menjadi Rp.
74,1915 trilyun
================
Kesepakatan DPR mengatakan bahwa bilamana
harga ICP mencapai 115% (atau plus 15%) dari USD 105 per barrel, Pemerintah
boleh menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena defisit yang
diakibatkan oleh subsidi terlampau besar, sehingga tidak tertahankan lagi.
Dari susunan angka-angka di atas terlihat jelas bahwa Pemerintah masih kelebihan uang tunai
sejumlah Rp. 74,1915 trilyun,
walaupun harga ICP mencapai USD 120,75 per liter.
Mengapa dan bagaimana mungkin Pemerintah
melakukan kesalahan pikir sampai demikian kacau balaunya. Subsidi yang tidak ada,
ditulis beserta jumlahnya. Tetapi angka-angka yang riil tidak dapat
disembunyikan, sehingga terpaksa harus menuliskan pos “PNBP Migas” dengan
jumlah Rp. 159,4719 trilyun. Maka Tabel I memang memuat pos “Subsidi BBM”
sebesar Rp. 123,5997 trilyun, tetapi ada pemasukan uang dengan sebutan pos
“PNBP Migas” sebesar Rp. 159,4719 trilyun dan pos “DBH (Dana Bagi Hasil) Migas”
sebesar Rp. 32,2762 trilyun, yang membuat tercantumnya kelebihan uang (surplus)
dalam Nota Keuangan 2012.
ALASAN IDEOLOGIS
Secara ideologis, elit bangsa Indonesia
telah berhasil di brain wash,
sehingga mereka tidak bisa berpikir lain kecuali secara otomatis atau refleks
merasa sudah seharusnya bahwa komponen minyak mentah dalam BBM harus dinilai
dengan harga yang terbentuk oleh mekanisme pasar (dalam UU no. 22 tahun 2001
pasal 28 ayat 2 : “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”.)
Harga pngadaan bensin
Harga pokok pengadaan bensin yang berasal
dari minyak mentah milik sendiri, karena digali dari dalam perut bumi Indonesia
terdiri pengeluaran-pengeluaran uang tunai untuk kegiatan-kegiatan penyedotan (lifting), pengilangan (refining) dan biaya pengangkutan
rata-rata ke pompa-pompa bensin (transporting).
Keseluruhan biaya-biaya ini sebesar USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter dan
dengan asumsi nilai tukar 1 USD = Rp. 9.000, maka biaya dalam bentuk uang tunai
yang harus dikeluarkan sebesar (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566.
Namun kita dicuci otak untuk berpikir bahwa
seolah-olah semua minyak mentah harus dibeli dari pasar minyak internasional
yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasarnya New York Mercantile Exchange
(NYMEX)
Dengan demikian kita
harus berpikir bahwa harga pokok dari 1 liter bensin premium sebesar Rp. 6.509,
yaitu atas dasar harga minyak mentah di pasar internasional sebesar USD 105 per
barrel. 1 barrel = 159 liter, sehingga dengan asumsi 1 USD = Rp. 9.000 (yang
diambil oleh APBN 2012), komponen minyak dalam 1 liter bensin premium adalah
(105 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 5.934,30. Ditambah dengan biaya Lifting, Refining dan Transporting
sebesar Rp. 566 per liter, menjadilah bensin premium dengan harga pokok sebesar
Rp. 6.509 per liter.
Seperti kita ketahui, harga bensin premium Rp.
4.500 per liter, sehingga pemerintah merasa merugi sebesar Rp. 2.009 per
liternya (Rp. 6.509 – Rp. 4.500). Dengan kata lain, pemerintah merasa
memberikan subsidi kepada rakyat Indonesia yang membeli bensin premium sebesar
Rp. 2.009 untuk setiap liternya.
Karena menurut pemerintah konsumsi bensin
dengan harga Rp. 4.500 per liter itu seluruhnya 61,62 juta kiloliter atau 61,52
milyar liter, pemerintah merasa merugi, memberikan subsidi kepada rakyat
pengguna bensin sejumlah Rp. 123,59 trilyun. Angka inilah yang tercantum dalam
Nota Keuangan tahun 2015 (Tabel IV.3 : Subsidi – halaman IV.7).
Jelas bahwa pola pikir ini didasarkan atas ideologi
fundalisme mekanisme pasar yang diterapkan pada minyak dan BBM, yaitu bahwa
harga BBM harus ditentukan oleh mekanisme pasar; pemerintah tidak boleh ikut
campur tangan dalam menentukan harga BBM yang diberlakukan buat rakyatnya,
sedangkan minyak mentah yang diolah menjadi BBM adalah milik rakyat itu
sendiri. Pemerintah yang mewakili rakyat pemilik minyak di bawah perut bumi
tanah airnya tidak boleh menentukan harga yang diberlakukan buat rakyat. Dengan
kata lain, hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri tentang bagaimana
menggunakan minyak yang miliknya sendiri itu diingkari.
Harga yang dibayar untuk minyak miliknya
sendiri haruslah harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar, mekanisme
permintaan dan penawaran minyak dari seluruh dunia yang dikoordinasikan oleh
New York Mercantile Exchange (NYMEX).
Kalau harga minyak yang terkandung dalam BBM
dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga yang ditentukan
oleh NYMEX, perbedaan ini disebut “subsidi” yang dianggap “rugi” dalam arti
benar-benar kehilangan uang.
Pikiran yang menganut mekanisme pasar murni
difanatisir, diradikalisir dan disesatkan dengan mengatakan bahwa subsidi BBM
sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Jumlahnya sangat
besar, pemerintah tidak memiliki uang itu, sehingga APBN jebol. Ini jelas tidak
benar, jelas bohong. Toh dikatakan oleh praktis seluruh elit kekuasaan yang
duduk dalam eksekutif maupun legislatif.
Penyesatan tersebut telah diperlihatkan pada
awal paparan ini, yaitu angka-angka yang tercantum dalam Tabel I. Angka-angka
ini ditulis oleh pemerintah sendiri yang dicantumkan dalam dokumen resmi, yaitu
Nota Keuangan/APBN tahun 2012 yang dijadikan titik tolak diskusi dan penentuan
kebijakan.
Demikianlah jauhnya indoktrinasi, brain washing yang berhasil tentang
mutlaknya pemberlakuan mekanisme pasar, sehingga mulut pemerintah mengatakan
memberi subsidi yang sama dengan uang tunai dalam jumlah besar yang harus
dikeluarkan sehingga APBN jebol, tetapi tangannya menuliskan Tabel nomor I yang
jelas memperlihatkan bahwa ada kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878
trilyun.
APA TUJUAN
DARI INDOKTRINASI DAN BRAIN WASHING ?
Secara logis, deduktif dan obyektif dapat
dikenali bahwa pemberlakuan harga minyak di pasar dunia buat rakyat Indonesia
yang membeli minyak miliknya sendiri, dimaksud untuk membuat rakyat Indonesia
secara mendarah daging berkeyakinan, bahwa harga yang dibayar untuk BBM dengan
sendirinya haruslah harga yang berlaku di pasar dunia.
Kalau ini sudah merasuk ke dalam otak dan
darah dagingnya, perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia bisa menjual BBM di
Indonesia dengan memperoleh laba besar.
Seperti kita ketahui, sekitar 90% dari minyak
Indonesia dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing atas dasar kontrak
bagi hasil. Pihak Indonesia memperoleh 85% dan asing 15%. Tetapi dalam
kenyataannya, pembagiannya sekarang ini pihak Indonesia memperoleh 70% dan para
kontraktor asing memperoleh 30%. Sebabnya yalah adanya ketentuan bahwa biaya
eksplorasi harus dibayar kembali dalam natura atau dalam bentuk minyak mentah
yang digali dari bumi Indonesia.
Para kontraktor asing menggelembungkan (mark up) biaya-biaya eksplorasinya,
sehingga sampai saat ini, setelah sekian lamanya tidak ada eksplorasi lagi,
biaya-biaya eksplorasi yang dinamakan recovery
costs masih saja dibayar terus. Jumlahnya 15% dari minyak mentah yang digali.
Maka kalau volume seluruh penggalian minyak sebanyak 930.000 barrel per hari,
yang digali oleh kontraktor asing sebanyak 90% dari 930.000 barrel per hari,
yang sama dengan 837.000 barrel per hari. Hak kontraktor asing 30%. Tetapi
karena yang 15% dianggap sebagai penggantian biaya eksplorasi yang disebut cost recovery, kita anggap netonya
memperoleh 15%. Ini berarti bahwa keseluruhan kontraktor asing yang beroperasi
di Indonesia setiap harinya mendapat minyak sebanyak 15% x 837.000 barrel = 125.500
barrel per hari atau 19.954.500 liter per hari.
Kita saksikan bahwa Shell, Chevron, Petronas
dll. sudah membuka pompa-pompa bensinnya. Mereka hanya menjual jenis bensin
yang setara dengan Pertamax dengan harga sekitar Rp. 10.000 per liter. Apa
artinya ini ? Artinya, mereka mempunyai hak memiliki 19.954.500 liter per hari.
Biaya untuk melakukan pengedukan, pengilangan dan transportasi sampai ke
pompa-pompa bensin mereka sebesar Rp. 566 per liter. Dijual dengan harga Rp.
10.000 per liter. Labanya Rp. 9.434 per liter. Volumenya 19.954.500 liter per
hari. Maka labanya per hari dari konsumen Indonesia dengan menjual bensin yang
minyak mentahnya dari perut bumi Indonesia sebesar Rp. 188.255.847.000 per
hari, yaitu (19.954.500 x 10.000) – (19.954.500 x 566) = Rp. 188.255.847.000
per hari.
Dalam satu tahun laba keseluruhan kontraktor asing
yang bekerja di Indonesia sebesar Rp. 68,71 trilyun.
Buat saya sangat jelas bahwa faktor inilah
yang membuat para kontraktor asing itu melakukan apa saja untuk mencuci otak
rakyat Indonesia bahwa bensin harus dibayar dengan harga New York beserta
berbagai argumentasinya. Ternyata berhasil, karena dikumandangkan dengan
demikian kerasnya oleh para elit kita, dari Presiden sampai pegawai negeri
rendahan, dari mahasiswa sampai guru besar dan semua media massa.
Inlander
Sekarang setiap hari Chevron memasang
iklan di berbagai surat kabar dan pemancar televisi Indonesia bahwa Chevron
punya andil besar dalam membangun Indonesia, menggunakan wajah-wajah Indonesia
yang mengangguk-ngangguk bagaikan inlander membenarkan peran besarnya Chevron dalam mengeduk kekayaan sumber daya
alam Indonesia.
IDEOLOGI
YANG MENYUSUP KE DALAM PERUNDANG-UNDANGAN
Ideologi bahwa pemerintah tidak boleh campur
tangan dalam menentukan harga BBM di Indonesia, walaupun minyak mentah milik bangsa
Indonesia sendiri, telah berhasil disusupkan ke dalam
undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi. Undang-undang inilah yang dijadikan landasan untuk memberlakukan harga di
pasar internasional buat bangsa Indonesia. Kalau rakyat Indonesia belum mampu
membayar harga internasional, dikatakan bahwa pemerintah harus memberikan
subsidi untuk perbedaan harganya, dan dikatakan juga bahwa subsidi sama dengan
uang tunai yang harus dikeluarkan, sehingga APBN jebol. Bahwa ini tidak benar
telah dijelaskan.
HARGA BBM,
UNDANG-UNDANG DASAR DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 Tahun 2001
jelas bertentangan dengan UUD kita beserta tafsirannya.
UUD kita mengatakan bahwa “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Karena itu harga BBM yang sesuai dengan
ketentuan UUD tersebut ditentukan oleh hikmah kebijaksanaan yang didasarkan
atas tiga prinsip, yaitu:
·
kepatutan,
·
daya beli masyarakat,
·
nilai strategis untuk keseluruhan
sektor-sektor lainnya dalam pembangunan.
Karena prinsip tersebut dilanggar, maka
Mahkamah Konstitusi (MK) membuat Putusan yang menyatakan pasal tersebut
bertentangan dengan Konstitusi. Putusannya adalah:
Putusan
Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi :
“Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.”
KEPUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH SEBUAH PERATURAN PEMERINTAH
Keputusan MK tersebut disikapi oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas
Bumi.
Pasal 72 ayat (1) berbunyi : “HARGA BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS BUMI,
kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN
TRANSPARAN”.
KONSTITUSI,
MAHKAMAH KONSTITUSI DILECEHKAN OLEH PARA PENGUASA
Sejak lama para penguasa kita memberikan
pernyataan-pernyataan yang sangat tegas dan jelas, yang mencerminkan
keyakinannya tentang harga BBM yang diberlakukan buat rakyat Indonesia haruslah
harga yang ditentukan oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh NYMEX.
Mereka mengatakan bahwa apabila harga BBM
di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM di luar negeri,
perbedaan itu merupakan kerugian dalam keuangan negara.
Pemerintah harus menambal kerugian
tersebut dengan uang tunai dalam jumlah sangat besar yang tidak dimilikinya.
Maka kalau harga tidak disamakan dengan harga BBM internasional, APBN jebol.
Bahwa ini jelas tidak benar telah diuraikan pada awal paparan ini.
Sekarang akan dikemukakan pikiran yang
diucapkan, dituliskan, dipidatokan kepada rakyat dan DPR, beserta keinginan
pemerintah memberlakukan harga BBM atas dasar harga minyak mentah yang
ditentukan oleh NYMEX.
Mari kita simak pernyataan-pernyataan
sebagai berikut:
Kompas tanggal 17 Mei 2008 mengutip Menko Boediono yang mengatakan : “Pemerintah
akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri
dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai September
2008. Pemerintah ingin mengarahkan harga BBM pada mekanisme penyesuaian
otomatis dengan harga dunia.”
Hal yang sama diulangi lagi oleh Boediono
dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden dalam wawancaranya pada acara di
Metro TV dengan Suryopratomo pada tanggal 26 Maret 2012.
Presiden SBY memberi
pernyataan yang dikutip oleh Indopos tanggal 3 Juli
2008 sebagai berikut : “Jika harga minyak USD 150 per barrel,
subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau harga
minyak USD 160 gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya
untuk BBM”.
Sangat jelas, Presiden SBY berkeyakinan
bahwa perbedaan harga antara pasar New York dengan harga BBM yang diberlakukan
untuk rakyat Indonesia sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Seperti telah
dijelaskan, ini tidak benar. Presiden SBY disesatkan oleh para menterinya
sendiri.
Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro
yang mengatakan : “dengan tingkat harga baru itu, pemerintah masih mensubsidi harga
premium sebesar Rp. 3.000 per liter karena ada perbedaan harga antara harga baru Rp. 6.000 per liter dan harga di pasar
dunia sebesar Rp. 9.000 per liter.”
Ketika itu, bensin premium dinaikkan
harganya menjadi Rp. 6.000 per liter, harga minyak mentah di pasar
internasional USD 133 per barrel dan kurs rupiah 1 USD = Rp. 10.000
Cara berpikir Menteri Purnomo sebagai berikut:
Harga minyak mentah USD 133 per barrel
sama dengan USD 0,8365 per liter atau Rp. 8,364 per liter. Ditambah dengan LRT
sebesar Rp. 630 menjadi harga pokok bensin premium sebesar Rp. 8,994. Angka ini
dibulatkan menjadi Rp. 9,000 per liter.
Jadi sangat jelas pikiran Menteri Purnomo
bahwa rakyat Indonesia seyogianya membayar BBM sesuai dengan harga minyak di
pasar internasional (harga NYMEX).
Kompas tanggal 24 Mei 2008 mengutip
Menteri Keuangan Sri Mulyani : “Sekarang
memang dinaikkan menjadi Rp. 6.000 per liter. Tetapi ini untuk sementara. Jika
harga minyak terus meningkat secara signifikan, pemerintah bisa melakukan
tindakan untuk menekan harga subsidi BBM (baca : menaikkan harga BBM)”.
Lengkaplah sudah bukti-bukti bahwa sejak
tahun 2008 sampai sekarang pikirannya, darah dagingnya, DNA-nya para penguasa
kita berkeyakinan bahwa rakyat Indonesia yang memiliki minyak harus membayar
minyaknya sendiri dengan harga yang ditentukan oleh NYMEX dalam memenuhi
kebutuhan akan BBM.
LANDASAN
TEORETIS YANG DIBUAT KEBLINGER
Metode
replacement value
Apakah ada landasan teoretis tentang bagaimana
menghitung harga pokok BBM yang bisa kita anut, dan nyatanya dianut oleh
pemerintah ? Ada, yaitu menghitung harga pokok BBM atas dasar replacement value. Teori ini mengatakan
bahwa harga pokok dari barang yang dijual adalah harga beli yang berlaku di
pasar dari barang yang baru saja dijual.
Kalau saya sekarang menjual 1 liter premium
dengan harga Rp. 4.500 per liter, harga pokok saya adalah harga yang harus saya
bayar seandainya minyak mentah yang ada dalam 1 liter premium itu saya beli
dari New York dengan harga yang berlaku di sana sekarang. Berapakah harga itu ?
Tergantung. Kalau harganya USD 105 per barrel, maka per liternya USD 0,66.
Dengan kurs 1 USD = Rp. 9.000 harga pokok minyak mentah per liternya 0,66 x Rp.
9.000 = Rp. 5.940. Ditambah dengan biaya LRT sebesar Rp. 566 per liter, harga
pokok bensin premium per liternya menjadi Rp. 6.506. Atas dasar alur pikir ini,
pemerintah merasa harga pokoknya Rp. 6.506, sehingga kalau dinaikkan menjadi
Rp. 6.000 masih rugi sedikit.
Pemerintah terus mengatakan bahwa kalau
dipaksa menjual premium dengan harga Rp. 4.500 per liter, setiap liternya akan
merugi Rp. 1.500.
Benarkah ? Benar dalam konsep penghitungan
harga pokok atas dasar metode replacement
value. Tetapi kerugiannya tidak dalam bentuk uang tunai yang hilang.
Kerugiannya dalam bentuk kesempatan memperoleh untung Rp. 1.500 per liternya
yang hilang, karena tidak bisa menjual minyak di New York. Mengapa tidak bisa ?
Karena minyak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Yang hilang bukan uang
tunai, tetapi kesempatan memperoleh untung besar. Kerugiannya dalam bentuk opportunity
loss, bukan real cash money loss.
Karena itu, tidak ada kerugian dalam bentuk
uang tunai yang membuat APBN jebol. Sebaliknya, pemerintah masih memperoleh
kelebihan uang tunai yang ditulisnya sendiri dalam Nota Keuangan 2012, yang
pada awal paparan ini sudah dikemukakan dalam bentuk tabel-tabel.
Dibuat keblingernya konsep penghitungan harga
pokok atas dasar replacement value
yalah karena opportunity loss
dikatakan sebagai real cash money loss;
kerugian dalam kesempatan yang
hilang dikatakan sebagai kerugian dalam bentuk uang tunai yang hilang.
Maka mulut mengatakan “APBN jebol”, tetapi
tangannya menulis dalam Nota Keuangan ada kelebihan uang tunai sebesar Rp.
96,7878 trilyun.
Substansialisme
Mengapa ada konsep penghitungan harga pokok
atas dasar replacement value ? Untuk
memperoleh harga pokok yang menjamin bahwa substansi barangnya dipertahankan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pedagang cabe mulai berdagang dengan Rp.
100.000 dibelikan 10 kg. cabe. Semuanya laku dijual dengan hasil penjualan Rp.
150.000. Ketika dia ingin membeli cabe untuk perputaran perdagangan
selanjutnya, harga beli cabe sudah naik menjadi Rp. 12.000 per kg.
Mahasiswa A dan B ditanya berapa laba sang
pedagang ? A mengatakan Rp. 50.000, karena kalau labanya yang Rp. 50.000 itu dikonsumsi,
modal nominalnya dalam bentuk uang tunai masih utuh sebesar Rp. 100.000
B menjawab labanya Rp. 30.000, karena B ingin
mempertahankan 10 kg. cabenya yang tidak boleh berkurang setelah laba
dikonsumsi habis. Harga beli cabe buat pedagang naik menjadi Rp. 12.000 per kg,
sehingga untuk mengganti jumlah kg. cabe yang harus tetap 10 kg., pedagang
harus mengeluarkan uang Rp. 120.000
A ingin mempertahankan modal nominalnya
sebesar Rp. 100.000. B ingin mempertahankan substansi dalam bentuk barang dagangannya
(cabe) sebanyak 10 kg. Maka dia menganggap laba yang dapat dikonsumsi tanpa
mengurangi volume cabe barang dagangannya (10 kg.) sebesar Rp. 30.000 saja,
karena yang Rp. 120.000 dibutuhkan untuk membeli 10 kg. cabe lagi yang harganya
sekarang sudah meningkat menjadi Rp. 12.000 per kg.
A menggunakan metode harga pokok cash basis. B menggunakan metode repalcement value basis. A disebut nominalis, B disebut substansialis.
Landasan pikiran A adalah nominalisme, sedangkan B menganut aliran
substansialisme.
Pemerintah yang mengambil harga pasar minyak
di New York sebagai harga pokoknya menganut faham substansialisme.
Konsekwensinya, kelebihan uang tunai harus dipakai untuk mempertahankan volume
energi, yang bentuknya misalnya menggunakan kelebihan uangnya guna melakukan
riset menemukan energi alternatif.
Seperti kita ketahui, pemerintah ingin
menggunakannya untuk membagi-bagi uangnya kepada orang miskin, atau untuk infra
struktur.
Jadi tujuan pemerintah menerapkan
substansialisme dalam bidang minyak tidak untuk mempertahankan cadangan energi,
tetapi untuk tujuan-tujuan lain.
Kalau memang itu tujuannya jangan mengatakan
menderita kerugian, jangan menggunakan kata “subsidi”. Caranya merumuskan
kebijakannya yalah dengan mengatakan:
“Pemerintah telah memperoleh kelebihan uang
tunai sebanyak Rp. 96,78 trilyun dengan menjual bensin premium dengan harga Rp.
4.500 per liternya. Tetapi pemerintah ingin menaikannya menjadi Rp. 6.000 per
liter supaya mendapat uang lebih banyak guna memberikan santunan kepada orang
miskin, membangun jembatan dsb.”
Pemerintah menjadi bingung karena tidak
berpikir sendiri, melainkan menjalankan bisikan atau bahkan pendiktean orang
lain tanpa mengetahui apa maksud orang yang mendiktekannya, dan tanpa mengerti
landasan falsafah dari penghitungan harga pokok atas dasar substansialisme. Karena
bingungnya itu lantas menjadi ngawur dalam berargumentasi. Pemerintah menebar
jejaring kebohongan yang akhirnya terjerat jejaring itu sendiri dengan akibat
terlihat seperti orang yang selalu kebingungan.
METODE
CASH BASIS ATAU HISTORICAL COST
Harga pokok atas dasar metode ini yalah uang
tunai yang benar-benar dikeluarkan untuk memperoleh 1 liter bensin premium.
Uang tunai harus dikeluarkan untuk membayar biaya-biaya penyedotan minyak dari
bawah perut bumi (lifting),
mengilangnya menjadi bensin (refining)
dan mentransportasikannya ke pompa-pompa bensin (transporting). Tiga macam biaya ini (LRT) keseluruhannya USD 10 per
barrel. Karena 1 barrel = 159 liter, dan kalau kurs 1 USD = Rp. 9.000, maka
uang tunai yang harus dikeluarkan untuk memperoleh bensin premium pada
pompa-pompa bensin rata-ratanya (10 : 159) x Rp. 9.000 = Rp. 566 per liter.
Karena uang tunai yang dikeluarkan hanya
sebanyak Rp. 566 per liternya, harga pokok menurut metode ini Rp. 566 per
liter. Kalau dijual Rp. 4.500 per liter, terjadi kelebihan uang tunai sebesar
Rp. 3.934 per liternya.
Sistem
pembukuan dan sistem kalkulasi harga pokok yang diterapkan oleh pemerintah
adalah cash basis. Maka tidak bisa berbohong.
Keseluruhan sistem pembukuan dan metode
penghitungan harga pokok yang melandasinya adalah yang cash basis atau yang historical
cost. Maka tidak mungkin berbohong tanpa menyembunyikan kelebihan uangnya yang
merupakan perbuatan kriminal berat.
Itulah sebabnya melalui jalan yang berliku,
dalam Nota Keuangan 2012 terdapat kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878
trilyun, seperti yang telah dijelaskan berkali-kali.
Menjelaskan
dengan perhitungan simulatif yang disederhanakan
Kelebihan uang tunai sebesar Rp. 96,7878
trilyun dihitung oleh pemerintah yang dituangkan dalam 4 buah tabel, yang
letaknya dalam Nota Keuangan 2012 saling berjauhan urutan halamannya. Jadi yang
saya lakukan hanya menulis dan menyusun apa adanya yang disajikan oleh
pemerintah.
Sekarang saya akan menjelaskan keseluruhan
alur pikir yang disederhanakan, tetapi dibuat selogis dan serealistis mungkin.
Hasilnya hanya berbeda sekitar 1% saja.
Diasumsikan bahwa seluruh minyak mentah yang
merupakan hak Indonesia dijadikan bensin premium semuanya.
Konsumsi lebih besar dari produksi minyak hak
Indonesia, yaitu konsumsi sebesar 63.000.000.000 liter, sedangkan produksi hak
Indonesia 37.780.800.000 liter. Maka harus diimpor sebanyak 25.219.200.000 liter
yang benar-benar dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per barrel.
Pertamina disuruh membeli minyak mentah hak
Indonesia dengan harga internasional. Demikian juga dengan impor neto yang
dengan sendirinya harus dibayar dengan harga internasional sebesar USD 105 per
barrel.
Susunan angka-angkanya menjadi Tabel berikut.
Kita lihat bahwa Pertamina memang kekurangan
uang tunai sebesar Rp. 126,63 trilyun. Ini yang disuarakan dengan keras oleh
pemerintah sebagai subsidi yang sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan,
dan dikatakan membuat APBN jebol.
Namun karena Pertamina disuruh membayar minyak
mentah kepada pemerintah Indonesia untuk 37,7808 milyar liter dengan harga USD
105 per barrel, pemerintah kemasukan uang tunai dari Pertamina sebesar Rp.
224,569 trilyun (baris paling atas dengan angka-angka tebal). Defisit yang Rp.
126,63 trilyun ditambah dengan surplus yang Rp. 224,569 trilyun menjadikan
surplus uang tunai pada pemerintah sebesar Rp. 97,939 trilyun.
Tabel di bawah dimaksud untuk menjelaskan alur
pikir pemerintah dan dibuat secara simulatif yang disederhanakan, tetapi
selogis dan serealistis mungkin, memperlihatkan surplus sebesar Rp. 97,939
trilyun. Angka surplus ini berbeda dengan yang tercantum dalam APBN tahun 2012
yang sebesar Rp. 96,788 trilyun. Selisihnya hanya Rp. 1,151 trilyun atau 1,19%
saja. Maka perhitungan simulatif untuk menjelaskan alur pikir dapat
dipertanggung jawabkan.
PERTAMINA DISURUH MEMBELI DARI :
·
Pemerintah 37,7808 milyar liter dengan
harga USD 105/barrel = Rp. 224,569 tr
·
Pasar
Internasional 25,2192
milyar liter dengan harga USD 105/barrel = Rp.
149,903 tr
Jumlah Pembelian 63,0000 milyar
liter minyak mentah = konsumsi
Biaya L R T 63,0000 milyar liter @
Rp. 566 = Rp. 35,658 tr
Jumlah Pengeluaran Pertamina Rp.
410,130 tr
Hasil Penjualan Premium 63,0000
milyar liter @ Rp. 4.500 = Rp. 283,500 tr
PERTAMINA DEFISIT/TEKOR/KEKURANGAN UANG TUNAI Rp.
126,630 tr
============
KEUANGAN PEMERINTAH
Pemerintah membayar kekurangan uang
kepada Pertamina
(yang disebut “Subsidi”) Rp.
126,630 tr
Pemerintah memperoleh uang dari
Pertamina Rp.
224,569 tr
PEMERINTAH KELEBIHAN UANG TUNAI Rp. 97,939 tr
============
LOGIKA KEBUN CABE
Rakyat yang tidak berpendidikan tinggi
dengan segera dapat menangkap konyolnya pikiran para elit kita dengan
penjelasan sebagai berikut.
Rumah tempat tinggal keluarga pak Amad
punya kebun kecil yang setiap harinya menghasilkan 1 kg. cabe. Keluarganya yang
ditambah dengan staf pegawai/pembantu rumah tangga cukup besar.
Keluarga ini membutuhkan 1 kg. cabe setiap harinya.
Seperti kita ketahui, kalau produksi cabe
yang setiap harinya 1 kg. itu dijual, pak Amad akan mendapat uang sebesar Rp.
15.000 setiap harinya. Tetapi 1 kg. cabe itu dibutuhkan untuk konsumsi
keluarganya sendiri.
Biaya dalam bentuk uang tunai yang harus
dikeluarkan oleh pak Amad untuk menyiram dan memberi pupuk sekedarnya setiap
harinya Rp. 1.000.
Pak Amad setiap harinya ngomel, menggerutu
mengatakan bahwa dia sangat sedih, karena harus mensubsidi keluarganya sebesar
Rp. 14.000 per hari, karena harus memberi cabe hasil kebunnya kepada
keluarganya.
Akhirnya seluruh keluarga sepakat megumpulkan
uang (urunan) sebanyak Rp. 5.000 yang
diberikan kepada pak Amad sebagai penggantian untuk cabenya yang tidak dijual
di pasar. Pak Amad masih menggerutu mengatakan bahwa dia memberi subsidi untuk
cabe sebesar Rp. 10.000 setiap hari.
Lantas tidak hanya menggerutu, dia menjadi
sinting betreriak-teriak bahwa dompetnya akan jebol, karena uang tunai keluar
terus sebanyak Rp. 10.000 setiap harinya. Dalam kenyataannya, dia keluar uang
Rp. 1.000 dan memperoleh Rp. 5.000 setiap harinya.
Ketika saya menceriterakan ini, rakyat
jelata yang minta penjelasan kepada saya mengatakan : “Iya pak, kok aneh ya,
punya cabe di kebunnya sendiri, harganya meningkat tinggi kok sedih, ngamuk,
mengatakan kantongnya jebol, uang mengalir keluar, padahal yang keluar hanya
Rp. 1.000 per hari, dia memperoleh Rp. 5.000 per harinya.”
Saya katakan kepada rakyat
jelata : “Ya itulah otak banyak sekali dari
pemimpinmu yag sudah berhasil dicuci sampai menjadi gendeng seperti itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar